CERITA RAKYAT DALAM TRADISI TULIS
( Antara Mitos, Persepsi dan Nilai )
H. L. Agus Fathurrahman
1
Mendifinisikan Cerita Rakyat tampaknya akan
menjadi sangat beragam, tergantung pada perspektif yang digunakan untuk
memberikan pemahaman kepada yang membutuhkan. Cerita rakyat bisa didefinisikan sebagai bagian dari
folklore suatu masyarakat, bisa dimaknai sebagai karya prosa lisan yang
mengisahkan tentang sesuatu atau peristiwa atau sejenisnya. Dalam
pelajaran-pelajaran sastra, cerita rakyat lazim digolongkan sebagai bacaan
anak-anak. Kenyataan ini diperkuat dengan tampilannya dan bahkan dalam
katalog-katalog penerbitan cerita rakyat digolongkan ke dalam kelompok bacaan
anak-anak. Salah atau benar pandangan dan kondisi ini harus diikuti dengan
alasan yang jelas dan ke arah mana sebenarnya kita berpihak.
Beberapa pernyataan berikut mungkin akan menjadi pintu masuk untuk
menunjukkan keberpihakan kita dalam konteks Cerita Rakyat ini. Mitos yang
mengatakan bahwa cerita rakyat merupakan bacaan anak-anak, akan berimplikasi
terhadap apresiasi kita terhadap karya itu. Mitos itu akan membatasi segmen
pembaca, meringankan penyajian dan sekaligus mempertanyakan eksistensinya
sebagai karya sastra. Demikian pula dari aspek fungsi yang dapat diemban
menjadi sangat terbatas, hanya sebagai media penanaman nilai bagi anak-anak
bahkan cenderung menjadi “dongeng sebelum tidur”. Dalam konteks ini,
aspek-aspek filosofis yang dikandung cerita rakyat menjadi terabaikan walaupun
mungkin sangat kaya. Ini peran transformasi pada cerita rakyat menjadi sangat
terbatas.
Apakah Cerita Rakyat memang bacaan anak ?.
Segmentasi pembaca berdasarkan usia tidak tergantung pada genre ceritanya.
Bacaan anak yang dilekatkan pada cerita rakyat juga saat ini telah bergeser.
Anak-anak akan memilih komik Jepang atau kisah-kisah petualangan seperti Harry
Poter dari pada cerita rakyat. Artinya, mitos tentang cerita rakyat sebagai
bacaan anak kini sudah terbantahkan. Ringan atau beratnya suatu karya juga
tidak bisa dijustifikasi dengan genrenya. Cerita rakyat, novel pop atau
kisah-kisah petualangan adalah karya sastra. Tetapi kalau kita hanya memahami
karya sastra sebagai karya “sofisticated”,
karya berat yang membuat pusing, maka cerita rakyat atau novel pop bukan karya
sastra. Lalu dimana alamat kedua jenis tulisan itu atau bahkan bentuk-bentuk
lain?. Pasti bukan artikel, bukan news, bukan reportase, bukan bacaan ilmiah,
...... lalu apa ? Memandang cerita rakyat juga harus jujur dan adil, ia lahir
dari proses kreatif, menggunakan bahasa sebagai media, ada pesan yang
disampaikan dan juga sarat dengan simbol-simbol. Artinya, masihkah kita akan
mengatakan cerita rakyat dalam tradisi tulis bukan karya sastra ?
Secara sosial, cerita rakyat merupakan khazanah
budaya yang memiliki fungsi dalam masyarakat pendukungnya dan juga mengemban
tugas dan peran dalam proses pembangunan peradaban. Jika secara apriori kita
berpegang pada mitos cerita rakyat sebagai bacaan anak-anak yang telah
ditinggalkan, maka secara kultural masyarakat itu mengalami kerugian besar.
Saat ini yang menjadi mitos di kalangan anak-anak adalah Dora Emon, Avatar,
Harry Poter, dll yang berarti identifikasi mereka bukan lagi pada milik
bangsanya. Mengapa ?, karena kita masih salah mengapresiasi cerita rakyat
sehingga tidak berusaha melakukan transformasi dan mereformasinya sesuai dengan
perkembangan peradaban.
Diskursus ringan seperti itu tentu saja tidak
cukup menjadi modal untuk mendongkrak posisi cerita rakyat menjadi karya sastra
tanpa ada usaha kongkrit dari para sastrawan dan pemilik / pendukung cerita
rakyat itu. Untuk itu diperlukan upaya membongkar mitos tentang cerita rakyat
dan menyajikan paradigma baru yang lebih prospektif. Upaya untuk mengembalikan
“keseriusan” cerita rakyat sebagai karya sastra, mengembalikan fungsi
transformasi yang diperkecil menjadi penanaman nilai tertentu, dan
mengembangkan tema, alur, konteks dan tokoh sesuai dengan perkembangan
peradaban. Dengan demikian cerita rakyat akan menjadi karya yang diapresiasi
dengan benar sesuai dengan segmen pembacanya.
2
Memberi bobot pada Cerita Rakyat harus berani
keluar dari mitos yang berkembang selama ini. Membangun paradigma baru yang
menggugurkan generalisasi yang menyempitkan arti dan posisi cerita rakyat dalam
kesusastraan. Tentu saja paradigma yang ditawarkan harus berangkat dari
asumsi-asumsi yang dapat dikembangkan secara tekstual dan kontekstual. Secara
tekstual, cerita rakyat harus menunjukkan karakteristik sastra yang kuat dan
secara kontekstual merepresentasi latar, tokoh, filosofi dan nilai yang
diemban. Dalam konteks ini, tidak bisa tidak harus dibangun dengan proses
kreatif tersendiri dengan mengacu pada cerita rakyat yang berkembang dalam
masyarakat pendukungnya. Permasalahannya adalah menciptakan sebuah karya “daur
ulang” memiliki rambu-rambu yang mungkin lebih ketat di satu pihak dan dengan
misi besar di pihak lain. Rambu-rambu dalam hal ini adalah keberterimaan
kreativitas tersebut dalam masyarakat.
Jika kita berangkat dari misi besar untuk
mengembalikan cerita rakyat sebagai karya sastra, tentu saja kita mulai dari menempatkan
pembaca dengan benar, mengapresiasi pembaca dengan baik, tidak under
estimeted . Dengan demikian kita dapat membangun konsep eksplorasi cerita
rakyat secara lebih bebas, tentu dalam bingkai latar tradisi dan norma yang
dianut masyarakat. Pada sisi lain misi besar tersebut harus berjalan dengan
format dasar cerita rakyat yang dikreasikan, baik dalam alur, kontens,
penokohan maupun seting ruangnya. Pada dasarnya cerita rakyat sebagai karya
masa, telah memiliki kompleksitas yang sangat komprehensif hanya disajikan
secara garis besar dan dengan format simbolik yang sangat sederhana. Disinilah
ruang kreativitas penulis untuk mengembangkan gagasan yang lebih kontekstual
dengan perkembangan peradaban masyarakat pendukungnya.
Dalam konteks masyarakat tradisi, cerita rakyat yang
dieksplorasi harus tetap menjadi milik masyarakat tradisional dan bisa
membangun semangat kebanggaan baru terhadap khasanah budayanya. Masyarakat
menemukan dirinya dalam karya itu yang mewakili tradisionalitas sekaligus
modernitasnya. Dengan kata lain, cerita rakyat yang dikesplorasi harus mampu
mengemban fungsi transformatif dalam
mengembangkan peradaban masyarakat pendukungnya. Beberapa fungsi transformatif
yang dapat dilakukan melalui eksplorasi cerita rakyat antara lain : (1) Memberikan
cara pandang baru terhadap persoalan-persoalan “hitam – putih” dalam ceritera
rakyat menjadi lebih kopleks (komplicated). (2) Menawarkan model-model
alternatif permasalahan nilai dan norma tradisional dalam menghadapi peradaban.
(3) Membebaskan masyarakat dari berbagai mitos tentang cerita rakyat yang
berkembang, (4) Menjadi media
transformasi nilai dan transformasi budaya dalam membangun peradaban.
Fungsi-fungsi transformatif cerita rakyat seperti
itu akan mengembalikan peran cerita rakyat sebagai karya sastra, dari fungsi
penyampaian nilai moral menjadi lebih luas dan kompleks. Mengembalikan nilai
filosofis yang menjadi salah satu karakter karya sastra yang dapat dianalisis
dengan pisau analisis ilmu sastra atau kritik sastra dan alat-alat bantu
lainnya. Membangun cerita rakyat menjadi karya sastra tidak hanya dengan
mengantarkan nilai-nilai filosofis yang absurd, tetapi nilai filosofis yang
berangkat dari simbol-simbol tradisi yang diyakini oleh masyarakat, dan
menyajikan dalam konteks yang lebih komprehensif.
Sebagai bahan kajian, kita coba mengambil contoh
fabel “tetontel-tontel” atau kisah persahabatan antara si kera dengan si
kodok yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sasak. Fabel ini
menceriterakan tentang dua tokoh yaitu si kera yang bodoh dan malas, dan si
kodok yang juga bodoh tetapi bekerja keras. Dalam kisah ini tidak ada tokoh
alternatif sebagai penyeimbang dan sekaligus menggambarkan kedua tokoh hidup
dalam satu sistem masyarakat yang terus menerus saling berinteraksi. Tema utamanya
sangat sedehana yaitu usaha menanam yang dilakukan tanpa pengetahuan yang benar
dan melahirkan kekonyolan yang membuat kisah ini menjadi komidi dengan tidak
memperhatikan latar dan konteks secara lebih luas dalam kehidupan sosial. Dari konteks ruang dan waktu, walau bersifat fabel
dapat saja dikembangkan dalam suatu sistem dan proses sosial yang
kompleks. Dalam kasus ini mungkin kita
dapat merujuk pada “Musyawarah Burung” yang ditulis oleh Fariduddin Attar.
Dengan pola eksplorasi fabel “tetontel-tontel”
seperti yang dicontohkan di atas, walau dengan judul yang sama akan melahirkan
kesan yang berbeda ketika keluar dari mitos cerita rakyat dan memasuki ruang
kreativitas penulis. Karya itu akan menjadi karya sastra sufi atau karya sastra
psikologi yang kuat. Mungkin masih banyak lagi contoh-contoh lain yang dapat
dirujuk pada karya-karya sastra klasik yang universal dengan tetap
memperhatikan aspek-aspek kontekstualnya. Katakanlah kisah “Lale Seruni”
bisa dikaji pengembangannya dengan merujuk pada Romeo dan Yuliet, “Tedoyan
Nede” atau “Balang Kesimbar” bisa dikembangkan dengan pendekatan
yang digunakan dalam karya-karya Iwan Simatupang, dll.
3
Eksplorasi cerita rakyat pada dasarnya adalah
untuk memperkaya cerita rakyat yang bersangkutan dan memperkuat eksistensinya
sebagai karya sastra dalam satu kesatuan pragmatik, sintetik dan semantik. Atau
dengan kata lain memperkuat cerita rakyat sebagai teks. Sebagai sebuah teks,
cerita rakyat yang dieksplorasi tersebut kemudian harus memperhatikan
konteksnya, sehingga harus pula dimaknai sebagai suatu pesan dalam sebuah
komunikasi. Dengan demikian maka eksplorasi cerita rakyat sebagai karya sastra
harus memperhatikan aspek-aspek pokok sebagai berikut :
1. Sebagai teks, harus mampu menunjukkan fungsi-fungsi
pragmatik, sintetik dan semantik dalam membangun komunikasi dengan pembacanya.
Secara pragmatik, karya ini harus mampu menggunakan bahasa sesuai dengan
konteks sosial tertentu sehingga pembacanya dapat menangkap gagasannya secara
utuh. Secara sintetik karya eksplorasi ini harus mampu menunjukkan kebertautan
antar unsur dan sistem yang berproses dalam rancang bangun karya yang
bersangkutan dan secara Semantik karya eksplorasi ini harus merujuk pada tema
global aslinya.
2. Sebagai khazanah budaya lokal cerita rakyat harus
mengemban tugas transformasi karena cerite rakyat dalam konteks folklore
berfungsi sebagai media transformasi nilai dan sekaligus budaya secara umum.
Dalam hal ini kemampuan semantik seorang pengeksplorasi cerita rakyat harus
memadai sehingga penggunaan simbol lokal tidak menjadikan karya itu karya
lokal.
3. Sebagai karya sastra teks cerita rakyat yang dieksplorasi
menggunakan simbol-simbol kontekstual
khazanah budaya setempat. Dalam hal ini dapat merujuk pada istilah, penokohan,
setting dan mungkin pula pola komunikasi simbolik yang umumnya digunakan dalam
masyarakat tradisional.
4. Pengembangan tema dan gagasan hendaknya tetap
memperhatikan nilai yang diyakini, cara pandang serta logika masyarakat
tradisional walaupun mungkin saja diperkaya dengan pola transformasi sesuai
dengan konteksnya. Demikian pula dalam upaya pengembangan karakter tokoh yang
diharapkan dapat memperkaya konflik sesuai dengan perkembangan peradaban.
Tentu saja masih banyak aspek lain dan pendekatan
yang digunakan untuk mengaktualisasikan cerita rakyat dalam kekinian sehingga
dapat mengemban fungsi dan peran sebagai sarana transformasi nilai dan
membangun peradaban yang tetap mempertahankan aspek-aspek tradisionalitas. Akan
lebih sempurna eksplorasi ceritera rakyat sebagai karya sastra jika secara utuh
memahami kehadiran seluruh simbol di dalamnya sebagai sesuatu yang bermakna dan
sarat nilai. Dalam hal ini banyak hal yang harus dipelajari dan dihayati oleh
seorang Penulis yang berusaha mengeksplorasi cerita rakyat sebagai karya sastra
yang “baru” – orisinal.
Pengembangan ceritera rakyat menjadi karya sastra
baru merupakan suatu bentuk kreativitas yang juga dapat diapresiasi, dengan
wawasan sastra maupun wawasan filologis. Disinilah kekayaan cerita rakyat yang
dielaborasi, disamping kekayaan secara fungsional sebagai media transformasi
nilai dan transformasi budaya. Hal ini berarti cerita rakyat yang dielaborasi
juga memiliki kekayaan yang bersifat ilmiah.
Pola Analisis
Menganalisa karya sestra jenis ini memiliki
keunikan karena memiliki multi dimensi yang komplek dan menggunakan alat
analisis yang juga beragam. Dongeng, Cerita rakyat, Babad, dengan berbagai
karakternya semula bertumpu pada analisis filologis, yang diperkuat dengan
pendekatan semantik dan semiotika. Pendekatan Filologis
0 komentar:
Posting Komentar