Pages

Kebudayaan





 MEMPERTIMBANGKAN KETERBATASAN ASPEK KEBAHASAAN
DALAM MENTERJEMAHKAN AL-QUR’AN KE DALAM BAHASA SASAK
( H.L. Agus Fathurrahman)

1
Ketika Panitia Penterjemah Al-Qur’an ke Bahasa Sasak memimta saya untuk terlibat dalam kegiatan yang mulia dan strategis ini, saya (tanpa berpikir panjang tentang kemampuan) langsung mengatakan bersedia dengan sangat gembira. Sikap seperti ini dimotivasi dua aspek kodrati sekaligus yaitu keislaman dan etnisitas. Dua hal yang harus mampu didialogkan untuk membangun kepribadian yang utuh, dan terjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Sasak merupakan hal yang niscaya pula. Karya besar ini juga wajib dipertanggungjawabkan secara vertikal, horisontal dan antar generasi.  Secara vertikal kepada Allah karena yang kita lakukan ini berkaitan dengan firman Allah Swt, secara sosial harus dipertanggungjawabkan kepada pemilik bahasa dan dampaknya terhadap cara pandang masyarakat terhadap Al-Qur’an dan dunia, secara antar generasi agar kita tidak meninggalkan jejak budaya yang salah.

Mungkin telah banyak orang yang secara pribadi mencoba menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak, tetapi tidak dipublikasikan karena memang harus melalui proses dan prosedur standar yang berada di bawah kewenangan Kementrian Agama. Hal ini memang harus dilakukan untuk menghindari perbedaan kodifikasi, persepsi, dan interpretasi yang dapat menimbulkan konflik. Kegiatan yang dilakukan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia bekerjasama dengan IAIN Mataram dan Pemerintah Provinsi NTB tentu saja merupakan sesuatu yang didambakan sehingga melahirkan terjemahan yang merupakan karya masyarakat budaya secara menyeluruh. Namun demikian, kegembiraan dan kebahagiaan itu tiba-tiba menjadi mengkhawatirkan ketika berhadapan dengan realitas bahasa Sasak kini.

Beberapa kehawatiran kebahasaan yang muncul dalam upaya menerjemahkan Al- Qur’an ke dalam bahasa Sasak antara lain ; keterbatasan kosa kata, keterbatasan gramatikal dan format logika, telah banyaknya kosa kata yang hilang karena aspek-aspek fungsional, keterbacaan / keakraban masyarakat pendukung budaya / bahasa Sasak sendiri. Keterbatasan kosa kata misalnya dapat kita bandingkan jumlah entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebanyak 62.100 berhadapan dengan bahasa Arab yang lebih kaya, lebih dari 80.000 entri yang masih tergolong bahasa kodifikasi standar (belum tersentuh gemerlapnya peradaban - seperti yang tertuang dalam Kamus Klasik Lisan Al-Arab karya Ibnu Manzhur) sudah mengalami kesulitan yang luar biasa. Apalagi dihadapkan dengan bahasa Sasak yang hanya memiliki kosa kata tidak mencapai 5000 entri. Bahkan Bahasa Arab yang sudah sedemikian kaya masih menemukan kesulitan dalam menotasi tasybih dan tamsiili dalam Al-Qur’an.

Keterbatasan Gramatikal dan format logika, misalnya dapat dilihat dari kesulitan seseorang menggunakan bahasa Sasak dalam aplikasi resmi atau ilmiah. Disamping karena keterbatasan kosa kata juga karena kemampuan bahasa beradaptasi dengan peradaban. Seperti yang dikemukakan oleh Adam Schaff seorang filosof Prancis (1967) mengatakan bahwa sistem bahasa berpengaruh terhadap cara pandang penuturnya termasuk cara menafsirkan dan menguraikan serta metode berfikirnya. Dalam hal ini kemampuan gramatikal dan format logika Bahasa Sasak jika harus dibandingkan dengan Bahasa Arab tentu akan mendapat banyak kesulitan tetapi tetapi sebagai standar kerja dalam terjemahan ini harus dilakukan. Misalnya dengan menggunakan perbandingan aspek – aspek : Substansi, makna,  kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu, posture, aksi, afeksi,  dll aspek kebahasaan kedua bahasa. Disamping itu Al-Qur’an juga menggambarkan hal-hal tak terjangkau oleh kemampuan logika manusia sehingga menggunakan pola perumpamaan dan qiyas yang harus dibedah dengan metode tersendiri. Lebih-lebih ketika membaca surat-surat Makkiyah sangat membutuhkan kemampuan metodologi bayan dan burhan yang istimewa. Dan tentu saja dalam pentermahannya ke bahasa Sasak harus mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.  

Menyusutnyanya kosa kata asli Sasak karena aspek fungsionalnya dalam peradaban, misalnya semakin hilang atau diberikan konotasi makna yang berbeda untuk kata belian ketika secara fungsional tergeser oleh dokter, tergesernnya kata mataq dengan merampek karena aspek teknis, dll. Disamping itu, kerikuhan menggunakan bahasa Sasak karena berbagai aspek sosiolinguistik, menyebabkan bahasa ini menjadi semakin tidak akrab dengan penuturnya sendiri. Bahkan sebagai bahasa dari suatu etnik yang termasuk 10 besar pendukungnya di Indonesia, masih belum tampak  upaya-upaya strategis untuk mengembangkannya dengan kajian yang lebih ilmiah.

2

Dalam kondisi kebahasaan Sasak yang demikian, dan keinginan untuk mewujudkan Terjemahan Al- Qur’an berbahasa Sasak, seakan menyebabkan dua dorongan kepentingan yang saling mendorong untuk keluar dari satu pintu. Tampaknya kebesaran Al-Quran sebagai rahmatan lil-alamin dapat menjadi salah satu jalan keluar bagi bahasa Sasak. Menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak berarti membuka dialog, kontak langsung antara bahasa Al-Qur’an (bahasa Arab), tanpa perantara bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Dialog dengan bahasa yang paling universal di dunia ini akan menempatkan secara kualitatif maupun kuantitatif kekuatan bahasa Sasak, sehingga muncul sikap dalam politik kebahasaan ke depan. Dengan dialog langsung seperti itu akan terasa dua suasana sekaligus yaitu suasana religius dan suasana kultural.

Kontak langsung antara Al-Qur’an dengan Bahasa Sasak juga akan lebih tepat mengantarkan kepada rasa bahasa untuk membawa dua cara pengungkapan yaitu pengungkapan Al-Qur’an dan pengungkapan Bahasa Sasak. Pengungkapan rasa religiusitas dan sekaligus etnisitas, sehingga terbangun kepribadian masyarakat secara utuh.  Dalam konteks ini dapat diangkat satu contoh : untuk menterjemahkan kata  qul” yang walaupun ini merupakan kata perintah yang sangat tegas, tetapi tetap terasa sangat lembut. Bagaimana mengungkapkan hal ini dalam bahasa Sasak ?. Ancaman yang dibungkus dalam bentuk sumpah yang sangat keras, seperti yang tersurat dalam surat Al-Infitar 1 – 6; Betapa tegasnya tetapi sekaligus betapa lembutnya. Bagaimana bahasa Sasak mengungkapkan hal ini ?

Logika bahasa Arab terbentuk dengan sistem gramatikal (nahwu) yang sangat kompleks, dengan ilmu penunjang yang cukup banyak. Tentu saja akan menjadi menjadi pintu masuk yang sangat bagus untuk memperkenalkan bangunan logika bahasa dalam proses terjemahan ini. Bagaimana komponen gramatikal arab (seperti fiil, fa’il, maful, ism masdar, amtsilah mubalaghah, isim al hay’ah, ism makan, ism zaman, dll) dapat didialogkan dengan kesederhanaan bahasa Sasak. Sayid Quthb, dalam Al – Tashwir al fanniny fi al Qur’an (1979) mengatakan : Salah satu ciri kekuatan pengungkapan al – Qur’an adalah kekuatannya mengungkapkan makna-makna abstrak dan kondisi-kondisi kejiwaan dengan penggambaran inderawi, termasuk penggambaran tentang fenomena alam, peristiwa masa lalu, kisah-kisah orang terdahulu, hari kiamat, bentuk-bentuk kenikmatan dan sisksa, figur-figur kemanusiaan. Semuanya tampak seolah-olah dekat hadir terbayang dalam bentuk yang inderawi oleh kekuatan imajinasi manusia. Sejauh mana kekuatan bahasa Sasak untuk membangun imaji manusia ?

Al-Qur’an bukan karya sastra tetapi terekspresi sangat sastrawi, bahkan bahasa Arab sendiri akhirnya harus melahirkan ilmu bedah baru untuk membedakan karya sastra bahasa Arab dengan Al – Qur’an. Inilah yang kemudian dikenal dengan Metode Bayan dan Burhan. Kedahsyatan kalam Arab yang disebut Tasybih mungkin bisa menjadi renungan dalam penterjemahan Al-Qur’an ke bahasa Sasak. (Menurut Abu Bakr Al Jurjani, 1320 H, seorang ahli Balagah : Tasybih merupakan seni yang membutuhkan kecerdasan dan bakat yang maksimal yang memberi kelembutan dan menggetarkan jiwa dan maampu menyatukan makna yang saling berbeda dan bertentangan dalam satu rumpun yang mengikat yang dirangkai dalam satu simpul keserasian dan keakraban.) Tingkat kesulitan tertinggi dalam menterjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa Sasak adalah pada aspek ini. Lebih-lebih saat berhadapan dengan surat-surat Makkiyah. Pilihan diksi yang mengatur rima puitik dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek makna dan aspek formalisme bahasa Kitab Suci.

3

Mempelajari keterbatasan aspek kebahasaan Bahasa Sasak dan sekaligus memahami dan menyadari keutamaan dan keunggulan bahasa Al-Qur’an, maka dalam proses penterjemahan ini harus diambil sikap-sikap kebahasaan yang dapat memperkuat dan memperkaya bahasa Sasak dalam kehidupan sehari-harinya. Sikap kebahasaan yang sejalan dengan roh qur’ani baik secara substansi maupun kebahasaan. Secara substansi terjemahan ini harus mampu digunakan untuk mempelajari kandungan Al-Qur’an dengan lebih gambalang dan secara kebahasaan terjelamahan ini dapat mengukuhkan keberadaan bahasa Sasak yang standar dan berfungsi sebagai konservasi bahasa untuk kosa kata yang secara fungsional telah tidak digunakan. Dua hal inilah yang saya katakan pada bagian awal sebagai dua kepentingan yang berebut keluar dari satu pintu.

Penetapan sikap kebahasaan ini kemudian mengandung konsekuensi untuk menentukan pilihan – pilihan yang mungkin saja dapat melahirkan kecemburuan, dan perbedaan pandangan dan sejenisnya, yang harus dijelaskan dengan bijaksana. Pilihan-pilihan penting yang harus ditetapkan adalah sebagai berikut :

1.      Pilihan dialek dari keragaman dialek (diaolek) bahasa Sasak yang dikenal dengan nama dialek Kuto Kute,  Nggeto Nggete, Meno Mene, Ngeno ngene, Meriaq meriku. Masing-masing dialek memiliki persebaran yang saling tumpang silang karena proses migrasi dan proeses sosial. Penulisan terjemahan ini memilih untuk menggunakan dialek Ngeno ngene dengan alasan dapat dipahami oleh semua penutur bahasa Sasak, dijadikan lingua franca dan memiliki sejarah penggunaan dalam tradisi tulis. Disamping itu dialek ini memiliki kelengkapan kebahasaan kata ganti kepemilikan yang yang lebih jelas.
2.      Pilihan ragam bicara tanpa strata yang merupakan ciri-ciri bahasa asli dan standar. Pilihan ini diambil karena memang Al-Qur’an adalah firman Allah kepada hambaNya tanpa strata. Hal ini secara strategi kebahasaan dapat menjadi bahan kajian standar kebahasaan.
3.      Menghindari penggunaan kosa kata bahasa Sasak yang mengandung semangat yang secara aqidah mungkin dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Misalnya kata yang mungkin mengandung semangat paganisme dalam penyebutan Tuhan (dalam bahasa Indonesia)  sebagai terjemahan Rab.
4.      Memilih penggunaan kata-kata serapan untuk memperkaya bahasa Sasak yang sudah umum digunakan dalam tradisi lisan masyarakat Sasak, termasuk dari bahasa Arab.
5.      Tidak memaksakan untuk menterjemahkan hal-hal yang bersifat standar aqidah maupun syariat. Misalnya kata-kata ihsan, iman, nama-nama surga dan nama nama neraka, dll.
6.      Merumuskan dan mencantumkan aspek-aspek teknis kebahasaan seperti lambang-lambang fonetik untuk memudahkan pembaca. Untuk hal ini memang tampaknya masih belum ada standarisasi, sehingga mungkin melalui terjelamahan ini dapat dijadikan rujukan untuk keperluan lain. Untuk hal ini memang perlu didampingi oleh seorang ahli lingguistik yang memahami bahasa Sasak dengan baik. Sebagai bahan pertanyaan awal mungkin dapat digunakan beberapa catatan di bawah ini :
a.      Pembedaan e taling dan e pepet : padé dan pade
b.      Penulisan a yang dibaca e pada akhir kata : apakah penulisannya masa dibaca mase atau ditulis mase
c.       Penggunaan glotal stop menggunakan q atau tanda amsah (‘)
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut harus merujuk pada tradisi tulis sebelumnya yang telah dipublikasikan secara luas, misalnya buku pelajaran bahasa Sasak Tjraken karangan Bapak Waloeja yang dikoreksi oleh Laloe Mesir yang diterbitkan tahun 1932. Mengacu pada buku tersebut digunakan pola penulisan sebagai berikut :
-          Sarian ita pada njau sangu adéna .........
-          Motor teléka’ang isi’ kekuatan apa ?
-          Setetuna laéq iya pada ndena uwah inget hisab (An-Naba : 27)
-          Dait lamun unta – unta si betian tekaré-aréang (ndéqna terungu)(surat At-takwir :4)

Inilah catatan kecil saya untuk mengantarkan sebuah diskusi yang sangat besar dan untuk kepentingan yang sangat mendasar bagi keberagamaan dan keberbudayaan suatu masyarakat. Catatan sebagai pemancing diskusi dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an yang telah dilakukan oleh teman-teman Lajnah. Koreksi dari penutur asli mungkin juga sangat diperlukan disamping pertimbangan secara teoritis dari para ahli bahasa dan juga ahli Al-Qur’an. Tentu kita sangat menyadari bahwa untuk melahirkan karya terjemahan Al – Qur’an yang baik, tidak mungkin sekali jadi tetapi harus terus menerus dilakukan evaluasi dan revisi sampai menghasilkan karya yang standar menurut ilmu Tafsir maupun kebahasaan.
Wallahu ‘a’lamu.

1 komentar:

bagaimana cara memperoleh Al Qur'an Terjemah Bahasa Sasak itu ? apakah mushaf tersebut di publikasikan, dan bagaimana untuk mendapatkan mushaf itu di Jakarta ?

Posting Komentar